Smariduta.... The Best SkuL ever!!!!!!!

Jumat, 12 Desember 2008

Pragmatisme Penerimaan Siswa Baru


PERGESERAN paradigma penerimaan siswa baru tahun ini mulai terasa. Banyak sekolah melakukan tebar pesona dengan berbagai tawaran program. Tampaknya, secara sekilas, kita melihat hal itu sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan.
Akan tetapi, apabila dicermati, ternyata sekolah-sekolah telah melakukan jalan pintas dengan pragmatisme sebagai jawaban atas laju perkembangan zaman. Kejutan masa depan (future shock) tekanan yang mengguncang dan hilangnya orientasi karena terlalu banyak perubahan dalam waktu singkat, tidak disikapi dengan bijak. Tanpa disadari, sekolah-sekolah telah menebar cultural lag yang mengasingkan siswa dari akselerasi perubahan, kebutuhan zaman, dan pembaharuan kebudayaan.
Sekolah-sekolah melakukan kebijakan yang mencitrakan mutu pendidikan. Akan tetapi, bila diteliti secara mendalam, benarkan citra mutu pendidikan itu menjawab kebutuhan masyarakat dan zaman? Tidakkah yang dilakukan sekolah-sekolah itu sekadar program kesementaraan yang tak menangkap substansi perubahan kebudayaan?
Setidaknya terdapat empat langkah pragmatisme yang ditawarkan sekolah untuk tetap menarik minat calon siswa. Pertama, sekolah mencitrakan kepada publik bahwa siswa mereka lulus ujian nasional (UN) seratus persen. Kedua, sekolah menawarkan program kelas akselerasi sebagai daya tarik bagi calon siswa. Ketiga, sekolah membuka kelas imersi dengan pengantar bahasa Inggris.
Keempat, menyediakan kelas unggulan dengan pengelolaan khusus. Keempat langkah pragmatisme tersebut sengaja digencarkan oleh kepala sekolah untuk menyerap siswa baru dengan input nilai lulusan UN yang relatif tinggi. Di balik itu, tersembunyi hasrat menjaring calon siswa dengan kemampuan finansial yang memadai.
Memang, keempat langkah itu bisa menjadi daya tarik bagi calon siswa baru untuk memilih sekolah yang dikehendakinya. Apakah memang keempat langkah pragmatisme pendidikan tersebut telah menjawab tantangan zaman? Atau justru lonceng kemerosotan mutu pendidikan kita telah berdentang semenjak tebar pesona penerimaan siswa baru? Langkah Pencitraan Kelulusan UN menjadi citra yang melambungkan atau menenggelamkan sebuah sekolah. Bagi sekolah yang mencapai kelulusan UN seratus persen, mencitrakan diri sebagai sekolah yang unggul, favorit, dan bermutu.
Padahal, keberhasilan seseorang ditentukan oleh 20 pesen dari intellectual quotient (IQ), sedangkan yang 80 persen oleh ditentukan oeh emotional quotient (EQ) dan sprititual quotient (SQ). UN hanya merefleksikan 20 persen keberhasilan seseorang, karena disajikan dalam ranah kognitif semata.
Langkah pragmatisme kepala sekolah untuk mencapai kelulusan semaksimal mungkin dengan nilai UN tinggi menjadi salah satu obsesi. Semua langkah ditempuh untuk mencapai kebanggaan lulus UN seratus persen. Pembelajaran direduksi menjadi sekadar latihan soal, siasat mengerjakan soal dengan cepat dan tepat. Pembelajaran jauh dari pandangan holistik yang membentuk manusia pembelajar secara utuh.
Sekolah yang menciptakan siswa lulus UN seratus persen, dicitrakan sebagai sekolah bermutu. Adapun sekolah yang paling banyak tidak meluluskan siswa, dicitrakan sebagai sekolah terbelakang. Dikotomi pencitraan itu menjadi pandangan umum semenjak dari para birokrat pendidikan hingga masyarakat. Citra yang menyesatkan tersebut telah menjadi pandangan umum. Calon siswa tak melihat akan keunggulan guru dalam membentuk siswa menjadi manusia pembelajar. Tidak dipersoalkan benar, setelah siswa lulus sekolah menengah atas tak bisa terserap ke lapangan pekerjaan atau meneruskan ke perguruan tinggi. Tak ada tanggung jawab birokrasi pendidikan untuk mempersiapkan siswa memasuki dunia kerja. Kian jauh dan gersang keterasingan siswa dari dunia kerja yang penuh persaingan global.
Demikian pula dengan sekolah yang menawarkan kelas akselerasi. Daya tempuh yang lebih pendek, dua tahun, tak memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat akan tenaga terdidik yang bergulat dengan persoalan kultural. Apa yang bisa dilakukan siswa yang lulus dalam kurun waktu lebih cepat? Meneruskan kuliah? Menjadi siswa unggul yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kepedihan nasib masyarakatnya? Atau, justru menjadi teralienasi dari persoalan masyarakatnya?
Di antara mereka yang cepat lulus setelah menempuh program akselerasi, akan menjadi calon mahasiswa yang sebagaimana lulusan lain kelak juga mencari lapangan pekerjaan. Menjadi beban negara sebagai pencari kerja, dan menjadi beban birokrasi yang harus menyediakan peluang kerja.
Sementara itu sekolah yang menawarkan kelas imersi, dengan pengantar bahasa Inggris, hanya membuat para guru gagap dalam komunikasi di ruang kelas. Globalisasi, perkembangan kultur yang tak terduga cepatnya, informasi yang melimpah, tak membuka cakrawala baru bagi siswa kelas imersi. Taruhlah para siswa memiliki kecakapan berbahasa Inggris yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang lain. Bagaimanakah sikapnya terhadap informasi yang melimpah ruah, terjadinya cultural lag yang menyebabkan masyarakat semakin hedonis dan konsumeris? Mereka tetaplah menjadi anak-anak yang gagap menatap zaman.
Sikap kita terhadap globalisasi pendidikan, tak cukup hanya mendirikan kelas imersi. Diperlukan pendidikan yang memahami perkembangan industri, perubahan struktur kerja, dan kemampuan pemecahan problem dunia industri. Memburu kemampuan komunikasi, dengan mendirikan kelas imersi, hanya salah satu sisi yang masih jauh dari persoalan substansial globalisasi pendidikan.
Program kelas unggulan menawarkan sarana prasarana pendidikan yang lebih baik, anak-anak yang terpilih, dan guru yang berkualitas. Akan tetapi, apa terobosan baru yang ditawarkan? Kurikulum, buku teks, dan alat evaluasi tetap sama. Tidak ada perombakan kurikulum, bahkan tiada pembelajaran yang lebih kreatif, yang membongkar kebekuan pola pikir siswa. Dengan demikian, sungguh disayangkan, tak ada kebaruan pembentukan intelektualisme yang menerobos kebekuan kultur pada kelas unggulan. Berikan Gengsi Pragmatisme yang terus berkembang dalam pola pikir birokrat pendidikan, guru, masyarakat, dan siswa, dalam kurun waktu lama tak akan memberikan jawaban atas persoalan zaman. Sekolah tidak memberikan apa pun, kecuali gengsi sosial, citra, dan martabat semu.
Kegeraman boleh saja berkembang dari seseorang, karena keterbatasan dana, dengan berkata: Sekolah boleh di mana saja, asal siswa memiliki etos yang kuat. Ia akan bisa membebaskan diri dari atmosfer pembodohan massal pragmatisme pendidikan!
Kemiskinan bukan aib. Kisah Kinjiro bisa kita hidupkan untuk membangkitkan etos belajar masyarakat. Ia belajar dengan penerangan kunang-kunang yang dimasukkan ke dalam botol, karena keluarganya sangat miskin, tak mampu membeli alat penerang. Ia menjadi tokoh samurai, dan menjadi simbol etos pembelajaran di sekolah-sekolah Jepang. Di setiap sekolah didirikan patung Kinjiro tengah memikul kayu bakar di bahu, dan membaca buku.
Etos Kinjiro, bagi keluarga miskin yang tak bisa memasuki sekolah-sekolah favorit karena keterbatasan dana, bukan merupakan kisah pelipur lara. Etos itu menjadi pilihan satu-satunya. Etos itu juga membebaskan siswa dari pembodohan massal dunia pendidikan yang terperangkap pragmatisme. Jangan terjebak dalam future shock. Jangan kehilangan oreientasi diri di tengah melimpahnya arus informasi dan perubahan kebudayaan yang begitu cepat. Kenapa silau dengan tebar pesona sekolah-sekolah yang mencitrakan institusi mereka bermutu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dicoba zaa....